Dampak Positif Penggunaan Bahasa Gaul
Penggunaan bahasa gaul memiliki sejumlah manfaat, di antaranya:
Dampak Negatif Penggunaan Bahasa Gaul
Meski memiliki sejumlah manfaat, penggunaan bahasa gaul juga dapat menimbulkan dampak negatif, antara lain:
Wajib Tahu! Ini 20 Singkatan Bahasa Gaul yang Sering Digunakan
Hidup di era modern seperti sekarang ini, telah mendorong para generasi milenial untuk menjadi lebih terhubung dan berpartisipasi secara aktif dalam perkembangan teknologi dan budaya pop. Dampak dari perkembangan tersebut, telah menciptakan sebuah dinamika unik dalam cara mereka berkomunikasi, salah satunya dengan adanya kemunculan singkatan bahasa gaul, menjadikan mereka lebih kekinian.
Mengancam Eksistensi Bahasa Indonesia
Saat ini, bahasa gaul seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan generasi muda. Sering kali, mereka lebih memilih menggunakan bahasa gaul daripada bahasa Indonesia, yang dianggap kuno. Jika keadaan ini terus berlanjut, ada kemungkinan bahasa Indonesia akan semakin dilupakan oleh generasi muda, bahkan bisa saja mengalami kepunahan karena tergeser oleh dominasi bahasa gaul.
Bahasa Betawi termasuk salah satu bentuk dialek bahasa Melayu. Keistimewaannya adalah mudah digunakan untuk berkomunikasi dengan suku-suku bangsa lain yang paham bahasa Indonesia. Bahasa Betawi merupakan hasil pembauran bahasa-bahasa antar suku dan dipengaruhi unsur bahasa asing (Arab, Belanda, Portugis, Inggris, dan Cina). Bahasa Melayu dialek Nusa Kalapa telah dipergunakan di Jakarta paling tidak sejak abad ke-10. Bahasa Melayu dialek Jakarta atau Bahasa Betawi ini terdapat kosakata yang tergolong "Betawi Kawi", yang dipengaruhi oleh bahasa Melayu Polinesia dan bahasa Kawi-Jawi. Bahasa Betawi yang dipergunakan sejak abad ke-10, mendapat pengaruh dari bahasa Portugis mulai abad ke-16. Pada awalnya Bahasa Melayu digunakan oleh orang-orang atau penduduk asli Jakarta dan menjadi dasar bahasa Indonesia. Mudah sekali berbaur dengan bahasa Indonesia karena banyak persamaan antara keduanya, sehingga sering pula disebut bahasa Indonesia dialek Jakarta. Perbedaan utamanya hanya pada ucapan sejumlah kata-kata yang pada kedua bahasa itu belum ada padanannya. Umumnya penduduk Betawi asli mengucapkan bunyi a menjadi e, misalnya Abah =Abe, Ada =Ade, Saja =Saje, dan lainnya, yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab, bahasa Cina, bahasa Jawa, dan bahasa Sunda. Penduduk asli kota Jakarta yang pernah mempunyai nama Sunda Kelapa, Jayakarta, dan Batavia berbahasa Melayu. Di Pelabuhan Sunda Kelapa terjadi pertemuan para pedagang dari dalam (Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Timur dan Malaka) dan luar Nusantara (orang Arab dan Cina datang lebih dulu daripada orang Portugis dan Belanda) dengan penduduk setempat. Pertemuan antarbangsa ini mengakibatkan kontak bahasa. Dalam berkomunikasi dagang digunakan Bahasa Melayu sebagai lingua franca. Bahasa Betawi ini merupakan salah satu dialek areal dari bahasa melayu, yang berkembang sejak awal-awal abad masehi di kawasan antara sungai Cisadane disebelah barat sampai sungai Citarum di sebelah timur; dari pantai Teluk Jakarta disebelah utara sampai dekat kaki gunung salak disebelah selatan. Kosakatanya sebagian besar sama dengan kosakata bahasa melayu umum; lalu diperkaya dengan kosakata dari bahasa Arab, cina, Belanda dan beberapa bahasa daerah lain, seperti bahasa Jawa, Sunda, dan Bali. Selain ada kosakata khas milik bahasa Betawi. Kosakata bahasa asing yang diserap ke dalam Bahasa Melayu berasal dari Bahasa Arab, Cina, Portugis, Belanda, Inggris dan Sanskerta. Penyerapan dari bahasa-bahasa itu turut memberikan ciri kepada Bahasa Melayu yang dituturkan oleh penduduk Jakarta asli sehingga menjadi Bahasa Melayu dialek Betawi . Dialek Betawi memiliki ciri khas fonetis yang membedakannya dengan Bahasa Melayu dialek lainnya. Bahasa Cina, terutama Bahasa Hokkian, merupakan bahasa asing yang turut memperkaya khazanah kosakata Bahasa Melayu Betawi. Bahasa Indonesia Nonformal Bahasa Melayu Betawi banyak digunakan dalam percakapan berbahasa Indonesia pada situasi nonformal. Pada masa pra Sumpah Pemuda bahasa Indonesia yang masih disebut bahasa Melayu menjadi alat komunikasi atau bahasa yang sering dipergunakan di dalam pergaulan sehari-hari antara suku-suku bangsa Indonesia atau antara bangsa Indonesia dan bangsa asing sehingga bahasa Melayu adalah menjadi semacam jembatan yang mengakrabkan pergaulan dan memesrakan hubungan antara suku-suku bangsa dari pelbagai daerah Indonesia. Bahasa Melayu dialek Betawi yang untuk mudahnya biasa disebut bahasa Betawi, merupakan ciri kebudayaan yang paling menonjol dari orang Betawi, digunakan mereka secara turun temurun sebagai bahasa sehari-hari. Berdasarkan penggunaan bahasa oleh masyarakat pendukungnya, wilayah yang dapat dianggap sebagai wilayah budaya Betawi itu meliputi seluruh wilayah DKI Jakarta, sebagian besar wilayah Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kecamatan Batu Raya di Kabupaten Krawang dan Kabupaten Tangerang. Perkembangan selanjutnya terdapat gaya berbahasa Indonesia dengan campuran bahasa Betawi yang disebut "Prokem betawi". Gaya berbahasa ini tidak hanya diucapkan dalam obrolan santai, melainkan telah masuk dalam media surat menyurat seperti gini atau dong, sih serta kata deh. Bahkan media surat kabar yang terbit di Jakarta pun terpengaruh juga dengan prokem Betawi.
Bahasa Betawi (basé Betawi, basa Betawi; dikenal juga sebagai bahasa Melayu Betawi) adalah bahasa kreol yang dituturkan oleh suku Betawi yang mendiami daerah Jakarta dan sekitarnya.[6][7] Bahasa ini merupakan bahasa Melayu Pasar yang bercampur dengan bahasa asing, seperti; Belanda, Portugis, Arab, Persia, Hokkien, dan juga bahasa pribumi Indonesia seperti Sunda, Jawa, dan Bali; imbas para imigran dan pekerja multietnis yang didatangkan dari berbagai tempat ke Batavia oleh VOC pada abad ke-16 hingga abad ke-18, serta perdagangan dan pertukaran yang terjadi sejak ratusan tahun di bandar besar Sunda Kalapa.[8]
Bahasa ini pun juga turut menjadi dasar atas bahasa gaul (ragam bahasa Indonesia non-baku), yang digunakan oleh orang-orang di Jabodetabek, dan menyebar ke seluruh Indonesia melalui penayangan media yang Jakartasentris. Laras ini memiliki ciri khas, yaitu adanya sebagian kosakata dengan fonem /a/ pada suku akhir tertutup berubah menjadi /ə/ [e pepet], dan akhiran /-in/ untuk mengganti sufiks /-i/, /-kan/ dan /-lah/ pada bahasa Indonesia.[9]
Bahasa Betawi Tengahan adalah sebuah dialek dari Bahasa Betawi yang dituturkan oleh masyarakat Jakarta (terutama masyarakat Betawi) yang cenderung memakai huruf "é" tinggi pada akhir penempatan katanya.[10][11]
Bahasa ini merupakan bahasa mayoritas di DKI Jakarta dan sebagian Kota Tangerang. Umumnya dialek ini berbunyi "è" pada akhir kata. Dialek ini cukup berbeda dengan dialek Betawi Ora dikarenakan bahasanya yang tidak begitu beragam karena penggunaan kosakatanya lebih dekat dengan bahasa Indonesia yang akhiran katanya kerap diganti dengan vokal 'è' dengan beberapa serapan kosakata dari bahasa lain atau bahasa asing lainnya.
Dialek ini dituturkan di pusat kota Jakarta dan sekitarnya, seperti; Tanah Abang, Kebon Jeruk, Palmerah, Kemayoran, Penjaringan, Kramat Jati, Menteng, Jatinegara, Senen, dan daerah lainnya. Dialek ini memiliki ciri khas; umumnya akhiran yang berfonem /a/ pada bahasa Melayu atau bahasa Indonesia] akan berubah menjadi /ɛ/ [è = taling], seperti pada; ada menjadi adè, apa menjadi apè, siapa menjadi siapè, dan sebagainya. Akan tetapi, tidak semuanya berubah menjadi demikian, seperti pada contoh kata; buka, bidara, dan doa.
Betawi Pinggiran atau Betawi Ora merupakan salah satu ragam dialek dari bahasa Betawi. Dialek ini cukup berbeda dengan dialek Betawi Tengahan. Perbedaan dari segi khazanah kekayaan kosakatanya, Betawi Pinggiran lebih kentara dan dekat dalam penyerapan kosakata asingnya (umumnya dari bahasa Sunda, Bahasa Jawa dan bahasa-bahasa lainnya) yang menyebabkan kosakatanya lebih beragam dibanding dialek Betawi Tengahan.[8][10]
Dalam pelafalan kata juga dialek ini berakhiran "a" berbeda dengan Betawi Tengahan yang berakhiran "è".[9][12] Dialek ini dituturkan oleh orang Betawi yang bermukim di Kota Depok, Kota Bekasi, bagian utara Kabupaten Bekasi, Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang, timur laut Kabupaten Tangerang, utara Kabupaten Bogor, utara Kabupaten Karawang tepatnya di kecamatan Batujaya dan Pakisjaya, dan juga dituturkan di bagian utara Kota Bogor yakni di wilayah utara kecamatan Tanah Sareal.[13][14]
Bahasa Betawi Tangerang atau Basa Betawi Tangerang adalah sebuah sub-dialek dari bahasa Betawi. Dialek ini termasuk kedalam cabang sub-dialek bahasa Betawi Pinggiran.[15] Kosakata dari bahasa Betawi Tangerang banyak dipengaruhi oleh bahasa Sunda Banten karena letak penuturannya yang bersebelahan.[16] Bahasa Betawi Tangerang umumnya dituturkan oleh orang beretnis Betawi dan Tionghoa Benteng yang sudah tidak lagi menggunakan bahasa Hokkien.[17]
Bahasa Betawi Tangerang dituturkan di daerah berikut;[19]
Bahasa Betawi Parung atau Basa Betawi Parung adalah sebuah subdialek dari Bahasa Betawi. Subdialek ini termasuk kedalam cabang dialek Betawi Pinggiran. Subdialek Betawi Parung memiliki banyak kemiripan kosakata dengan subdialek Betawi Depok karena letaknya yang bersebelahan. Subdialek ini juga sangat terpengaruh oleh bahasa Sunda Bogor dalam kosakata dan cara penuturannya.[20] Bahkan Bahasa Betawi Parung tercacat dalam karya tertulis, "Bukan Jakarta. Tapi Parung, Madam. Orang Parung tidak persis Betawi, tapi seperti campuran antara Betawi dan Sunda, karena memang Parung terletak di tengah-tengah." (Fira Basuki (2004) dalam novel Rojak halaman 44).[21]
Bahasa Betawi Parung dituturkan di wilayah Kabupaten Bogor bagian utara, umumnya di wilayah Parung dan sekitarnya. Di Kecamatan Parung, bahasa Betawi Parung dituturkan oleh mayoritas penduduknya kecuali di beberapa desa yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Kemang dan Kecamatan Ciseeng sebagian kecil masyarakat berbahasa Sunda. Di Kecamatan Ciseeng, bahasa Betawi Parung umumnya hanya dituturkan di wilayah Desa Ciseeng dan Desa Parigi Mekar sedangkan di desa lainnya mayoritas penduduk menuturkan bahasa Sunda. Di Kecamatan Gunungsindur, bahasa Betawi Parung dituturkan dihampir seluruh desa, kecuali di Desa Gunungsindur dan Desa Jampang yang mayoritas penduduknya berbahasa Sunda.[22] Sedangkan di Kecamatan Kemang, Bahasa Betawi Parung umumnya hanya dituturkan dibeberapa desa yang berbatasan dengan Kecamatan Parung sementara desa lainnya mayoritas menuturkan bahasa Sunda.[23]
Betawi Ora umumnya dituturkan di daerah sekitaran Jakarta, seperti Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi (bagian utara dan barat), Kabupaten Bogor (bagian utara; khususnya Parung dan sekitarnya), Kota Bogor (bagian utara), Kabupaten Tangerang (bagian utara dan timur), Kota Tangerang, dan Kota Depok.[9] Tidak seperti Betawi Tengahan yang mengganti akhiran fonem /a/ menjadi /ɛ/ [è], dalam Betawi Ora' tetap menjadi /a/ (kadang dengan pemberhentian glotal), dan sering pula menekan menjadi [ah], seperti pada contoh; saya > sayah, siapa > sapah, mengapa > ngapah dan ada > ada', kata > kata', dan iya > iya'.
Tokoh-tokoh pengguna bahasa Betawi modern:
Acara televisi yang menggunakan bahasa Betawi dalam acaranya ialah;
Buku-buku yang menjadi pastokan "Sastra Betawi" adalah:
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bahasa gaul LGBT, ucapan LGBT atau bahasa gaul gay adalah leksikon bahasa gaul yang umum digunakan oleh orang LGBT. Hal ini telah digunakan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Inggris dan bahasa Jepang, sejak awal 1900-an dengan maksud agar komunitas LGBT dapat mengidentifikasi mereka sendiri dan berbicara dalam kode yang ringkas dan cepat kepada para LGBT lain.[1][2]
Templat:Slang seksual
Menambah Keakraban dengan Teman Sebaya
Bahasa gaul juga dapat mempererat hubungan antara teman. Karena sifatnya yang lebih santai, penggunaan bahasa gaul dalam percakapan sehari-hari terasa lebih akrab dibandingkan bahasa formal. Contohnya, kalimat "ah, gue lagi mager, nih" lebih umum digunakan di antara teman-teman dibandingkan dengan "saya sedang malas melakukan apa-apa," yang terdengar terlalu kaku.
Meningkatkan Kreativitas
Bahasa gaul dapat merangsang kreativitas. Karena sifatnya yang nonformal, masyarakat memiliki kebebasan untuk menciptakan, mengubah, atau mengkreasikan kosakata baru. Ini berbeda dengan bahasa Indonesia formal, di mana perubahan atau penambahan kosakata baru tidak begitu mudah dilakukan. Dengan kebebasan ini, masyarakat menjadi lebih kreatif dalam menciptakan istilah-istilah baru yang mungkin belum pernah terdengar sebelumnya. Seiring dengan perkembangan teknologi, semakin banyak kosakata gaul yang muncul dari inovasi masyarakat, sehingga memperkaya khazanah bahasa Indonesia.
Menyulitkan Penggunaan Bahasa yang Tepat dalam Situasi Formal
Bahasa gaul umumnya digunakan dalam konteks nonformal, seperti saat berbincang dengan teman. Namun, dalam situasi formal seperti ketika seorang siswa berbicara dengan guru, penggunaan bahasa yang baik dan benar sangat penting.
Jika seseorang terbiasa menggunakan bahasa gaul, ia mungkin akan kesulitan untuk beralih ke bahasa Indonesia yang benar dalam situasi formal. Ini bisa menjadi masalah serius. Jika seseorang tidak mampu menyesuaikan bahasanya dengan konteks yang tepat, ia dapat dianggap kurang sopan oleh orang lain.
Contohnya, jika seorang siswa berkata kepada gurunya, "Ini tugas Matematika gue, Bu. Cusss.. dinilai ya, Bu," atau "BTW, Bu, mau ikut ke koperasi? Sekalian ambil spidol nih, Bu, kuy!", hal ini bisa dianggap tidak sopan. Walaupun siswa merasa akrab dengan gurunya, tetap seharusnya bahasa Indonesia yang formal digunakan dalam lingkungan sekolah.
Nikmati Serunya Bermedia Sosial dengan Paket Teng-Go dari AXIS
Ingin menjelajahi dunia maya dan tetap up to date dengan singkatan bahasa gaul yang sedang tren? Kamu bisa pakai
dari AXIS untuk mengeksplorasi dunia media sosial secara bebas, dimana paket ini telah dilengkapi dengan adanya fitur play dan pause yang bisa dikontrol sesuai kebutuhan. Paket Teng-Go dari AXIS, tersedia dalam 3 pilihan dengan masa aktif masing-masing 5 hari, yaitu:
Untuk bisa membeli Paket Teng-Go dari AXIS ini, pastikan kamu sudah punya SIM AXIS, ya! Tetapi kalau belum punya, kamu bisa melakukan pembelian kartu perdana dan eSIM AXIS secara online di
. Yuk, jadilah bagian dari serunya bersosial media dengan AXIS!
Menyebabkan Penyalahartian dan Kesalahpahaman
Berbeda dengan bahasa Indonesia baku yang memiliki pedoman resmi, seperti Kamus Umum Bahasa Indonesia, bahasa gaul tidak memiliki aturan tetap untuk penafsirannya. Setiap istilah dalam bahasa gaul dapat dipahami secara berbeda oleh individu yang berbeda pula. Hal ini bisa menyebabkan kesalahpahaman, terutama di antara orang-orang yang tidak mengikuti perkembangan bahasa gaul.
Sebagai contoh, kata "anjay" sering dipandang sebagai bentuk olok-olok terhadap hewan, anjing, yang bisa dianggap merendahkan seseorang. Namun, dalam praktiknya, kata ini lebih umum digunakan untuk mengekspresikan rasa kagum atau terkesan terhadap suatu peristiwa.